Minggu, 30 Desember 2018

Filsafat Ilmu




Menyelesaikan Problem dengan Cabang-Cabang Filsafat
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Syariah Islamiyah
Dosen Pengampu: Drs. Ommon, M.Pd



Di buat oleh :
Yuliana Marfungatun Nikmah    H. 1710415

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR

2018


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya dapat menyelesaikan pemberian  tugas ini. Shalawat serta salam senantiasa terhatur kepada Rasul  yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta, kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya, serta kepada orang-orang  yang senantiasa berjalan di jalannya dan berpegang pada petunjuknya hingga hari Kiamat.
Penyajian dalam makalah ini kami tampilkan dalam bentuk yang mudah dipahami serta menjelaskan uraian singkat mengenai Cabang-Cabang Filsafat.
Kam mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ommon, M.Pd. selaku Dosen pembimbing yang memberikan masukan nasehat dan saran serta teman-teman yang bersedia menyediakan waktu, tenaga, pikiran dan kerjasamanya dalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.Amiin.
Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa dan tersedianya referensi atau sumber dari berbagai buku dan media sangat membantu kami dalam menyajikan makalah yang sesuai.Oleh karena itu kami dengan tangan terbuka menerima kritik dan saran demi kebaikan bersama sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi atau revisi dari makalah ini.
Akhir kata, tidak ada karya manusia yang sempurna selain dari karya-Nya. Demikian pula dengan makalah ini, masih jauh dari apa yang kita harapkan bersama. Untuk itu kepada dosen pembimbing saya minta masukan demi perbaikan pembuatan makalah kami dimasa yang akan datang.


Bogor, Juni 2018


Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................  ii
Daftar Isi ...........................................................................................................  iii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................  5
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................  5
1.3 Tujuan Pernikahan ......................................................................................  6

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Filsafat Ilmu  ...........................................................................................  6
2.2. Cabang-Cabang Filsafat
2.2.1. Epistemologi  .......................................................................................  10 
2.2.2. Ontologi ...............................................................................................  15
2.2.3. Axiologi ...............................................................................................  15

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................................  24

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................  25



























BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Pengetahuan adalah buah dari berfikir, sedangkan berfikir itu sendiri adalah sebagai pembeda manusia dengan makhluk yang lainnya. Ketika manusia mempunyai sebuah masalah, manusia pasti akan berfikir “apa yang sedang terjadi?”,”dengan cara apa masalah ini bisa diselesaikan?”,”mengapa ini bisa terjadi?” dan berbagai pertanyaan lainnya.
Dengan berbagai macam pertanyaan, kita sebenarnya sudah terlibat dalam karya berfilsafat. Karena itu filsafat pertama-tama merupakan suatu sikap. Ia mempersoalkan cara, metode dan bagaimana orang mempertanyakan segala sesuatu.
ilmu pengetahuan landasan yang digunakan adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi, atau dengan kata lain apa, bagaimana dan kemana ilmu itu. Hakekat obyek ilmu (ontologi) terdiri dari objek materi yang terdiri dari jenisjenis dan sifat-sifat ilmu pengetahuan dan objek forma yang terdiri dari sudut pandang dari objek itu. Epistemologi diawali dengan langkah-langkah : perumusan masalah, penyusunan kerangka pikiran, perumusan hipotesis, dan penarikan kesimpulan. Nilai kegunaan ilmu tergantung dari manusia yang memanfaatkannya. Dalam realitas manusia terdiri dari dua golongan ;pertama golongan yang mengatakan bahwa ilmu itu bebas mutlak berdiri sendiri. Golongan kedua berpendapat bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Adapun dalam Islam ilmu itu tidak bebas nilai ia dilandasi oleh hokum normatif transendental. Nilai yang menjadi dasar dalam penilaian baik buruknya segala sesuatu dapat dilihat dari nilai etika (agama) dan estetika. Keywords; Ontologi, Epistemologi.
  Ilmu filsafat menurut Hasbullah Backry yaitu filsafat yang mempelajari segala sesuatu secara mendetail atau mengenai ketuhanan, alam dan kemanusiaan. Filsafat bisa disebut juga sebagai induk dari segala ilmu. Ilmu ini juga mempunyai beberapa cabang seperti metafisika, epistomologi dan aksiologi yang akan kami bahas pada makalah ini.

1.2  Rumusan Masalah
1.  Apa yang dimaksud  dengan Filsafat Ilmu dan Cabang-Cabang Filsafat Ilmu
2.  Bagaimana mengupas solusi-solusi dalam sekolah

1.3  Tujuan Penulisan
Makalah ini  disusun untuk memenuhi tugas  mata kuliah Filsafat Ilmu mengenai Cabang-Cabang Ilmu itu sendiri, semester II. Setelah belajar mata kuliah ini diharapkan agar para mahasiswa lebih memahami secara mendalam tentangFilsafat Ilmu , serta memantapkan dan menambah  wawasan pengetahuan dalam mengajarkan pokok bahasan tentang pernikahan.































BAB II
PEMBAHASAN



Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi ( filsafat pengetahuan ) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu ( pengetahuan ilmiah ). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, sehingga filsafat ilmu mempunyai pembagian sesuai bidang-bidang yan menjadi pengetahuan, yakni ilmu-ilmu alamatau ilmu-ilmu sosial.

Apakah yang sebenarnya ditelaah filsafat ?

Selaran dengan dasarnya yang spekulatif, maka menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada: terjawablah masalah yang satu, dia pun mulai merambah pertanyaan lain. Tent saja tiap kurun zaman mempunyai masalah yang merupakan mode pada waktu itu. Filsafat yang sedang pop mungkin mengenai UFO : apakah Cuma kita satu-satunya “manusia” yang menghuni semesta ini?6 . Hari ini selaras dengan usaha peningkatan kemampuan penalaran maka filsafat ilmu menjadi “ ngetop “, sedangkan dalam masa-masa mendatang maka yang akan menjadi perhatian kemungkinan besar bukan lagi filsafat ilmu, melainkan filsafat moral yang berkaitan dengan ilmu.

Apakah hidup ini sebenarnya? Apakah hidup itu sekadar peluang dengan nasib yang melempar dadu acak?5 ( Bila asumsi Tuhan itu adil maka penciptaan haruslah diacak! ). Hidup adalah anugerah yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Dalam hidup banyak peluang dan nasib adalah salah satu perwujudan dalam mengambil sebuah peluang. Peluang akan muncul beberapa kali dalam hidup untuk menentukan nasib, maka berpikirlah dalam mengambil peluang.

Skenario bermula pada suatu pertemuan ilmiah tingkat “ tinggi “, di mana seorang ilmuwan bicara panjang lebar tentang suatu penemuan ilmiah dalam risetnya. Setelah berjam-jam dia bicara maka dia pun menyeka keringatnya dan bertanya kepada hadirin: adakah kiranya yang belum jelas ? salah seorang bangkit dan seperti seorang pekak memasang kedua belah tangan di samping kupingnya: Apa ( Rupanya sejak tadi ia tidak mendengar apa-pa)

Memang orang itu sejak  tadi “ tidak mendengar apa-apa” sebab “ tidak tertarik mendengar apa-apa “ sebab tidak ada apa-apa yang berharga untuk didengar “. Orang baru mau mendengar pendapat yang bersifat ilmiah melalui cara/prosedur ilmiah. Biarpun pembiacara mengutip pendapat sekian pemenang hadiah Nobel, mengemukakan sekian fakta yang aktual; namun bila bagi dia tidak jelas mana masalah, yang mana hipotesisi; yang mana kerangka pemikiran, yang mana kesimpulan; yang keseluruhannya terkait dan tersusun dalam penalaran ilmiah; bagi dia semua itu sekedar GIGO ( maksudnya keluar dari telinga kiri G dan keluar telinga kanan juga G).6 Tugas utama filsafat, kata Wittgenstein bukanlah menghasilkan susunan pernyataan , melainkan menyatakan sebuah pernyataan sejelas mungkin.7
Dengan demikian maka epistemologi dan bahasa merupakan hal utama.

Terdapat beberapa jenis manusia dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahua.

Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidak tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya

“ Bagaimanakah caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” sambung orang awam itu; penuh hasrat dalam ketidaktahuannya.
“Mudah saja, “ jawab filsuf itu, “ ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita ketahui dan apa yang belum diketahui.

Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfisafatlah tentang ilmu berarti kita terus terang kepada diri kita sendiri: Apakah sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu? Apakah ciri-cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya bukan ilmu?

Sering kita melihat seorang Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial, Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau lebih rendah lagi seorang ilmuawan memandang rendah nilai estetika dan moral. Meraka para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang: Lho, kok masih ada langit lain di luar tempurung kita. Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu, simpul Sokrates, ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa. Inilah kehdupan hendaklah jangan sombong terhadap apa dikira oleh diri lebih baik dibanding apa yang diperoleh oleh orang lain. Sikap saling menghormati ilmu perlu diterapkan karena seseorang dalam memperoleh ilmu , entah ilmu apapun itu butuh proses panjang dan penuh lika-liku.

Kadang kurang  di sadari bahwa tiap ilmu, terutaman ilmu-ilmu sosial, mempunyai  asumsi tententu  tentang  manusia  yang  menjadi  lakon utama dalam  kajian  keilmuannya. Contoh yang agak berdekatan yakni ilmu ekonomi dan manajemen. Kedua ilmu ini mmepunyai asumsi tentang manusia yang berbeda. Ilmu ekonomi mempunyai asumsi bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang bertujuan encari kenikmatan sebesar-besarnya dan menjauhi ketidaknyamanan semungkin. Manusia  adalah  makhluk hedonis  yang  serakah , mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Sedangkan ilmu manajemen mempunyai asumsi menelaah kerja sama antarsesama manusia dalam mencapai  suatu tujuan yang disetujui bersama, mengatur apa yang  harus diatur, mengarahkan apa yang perlu diarahkan. Sehingga manusia tidak  lepas dengan manusia lain dalam membuat aturan serta saling bekerja sama.

Cabang-Cabang Filsafat

Setelah memahami apa itu filsafat dan bagiamana seorang menemukan titik benar dalam memecahkan masalah, filsafat sendiri memilki cabang-cabang yang mencangkup pokok permasalahan. Permaslahan yang dikaji yaitu apa yang disebut benar, apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan  mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang dimaksud jelek (estetika). Diantaranya cabang-cabang filsafat ilmu mencakup :
1.      Ontologi
2.      Epistemologi
3.      Axiologi

EPISTEMOLOGI : CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR


Salah satu cabang  pengetahuan itu berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama segi  metodenya. Metode keilmuan jelas berbeda dengan ilmu yang merpakan paradigma Abad pertenahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan.

Secara metafisik ilmu mulai dipisahkan dengan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Example :
“ saya adalah seorang Dokter Polan, ali burung betet betina,” demikian dalam abad spesialisasi ini serang memperkenalkan diri. Jadi tidak lagi ahli zoologi, atau ahli burung, bukan juga ahli betet, melainkan betet betina.

“ceritakan Dok, bagaimana membedakan burung betet betina sedangkan  burung betet jantan !”
“Burung betet jantan makan cacing betina sedangkan burung betet betina makan cacing betet jantan !”
“Bagaimana membedakan cacing jantan dengan cacing betina ?”
“Wah, itu di luar profesi da keahlian saya.sadara harus bertanya kepada seorang ali cacing.”

Disinilah tergabarkan, makin sempitnya disiplin ilmu itu tidak menimbulkan masalah, sebab dalam kehidupan nyata seperti pembangunan pemukian manusia, maka masalah yang dihadapi demikian banyak dan jelimet.

Pendekatan inter-disipliner memang merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuan yang telah berkembang berdasarka route-nya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma5 baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperti logika, matematika, statistika dan bahasa.

Dapat diambil suatu pemikiran bagaimana sistem gender itu dihasilkan. Melalui logika yang terus menerus di asah berikut pembahasannya .

Logika berpikir gender ini merpakan suatu cara kaum muslim terhadap produksi sistem gender dan jati diri seseorang. Sistem yang dikenal oleh laki-laki dan perempuan Muslim adalah bersifat bias gende, kerena sistem tersebut diartikan berdasarkan politik perbedaan antara laki-laki da perempuan. Hal tersebut menyatakan bahwakepemimpinan laki-laki lebih sempurna daripada perempuan. Visi bias gender dalam pandangan kebenaran publik sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam di Jazirah Arabia. Pola perkawinan, hubungan kesukuan, perbudakan, senioritas laki-laki, pembunuhan anak perempuan, dan dendam turun – temurun telah membentuk kehidupan dan pengalaman perempuan di masa sebelum kedatangan Islam.  Jazirah Arab ini memandang rendah moral perempuan,  “ karena watak perempuan merupakan kebalikan dari apa yang dianggap  oleh orang Arab sebagai model laki-laki yang sempurna”.

Berikut ini adalah contoh ayat-ayat al-Qur’an yang telah dibaca menrut pandangan dunia :

“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “ Sesungguhnya Aku hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu.” Mereka berkata: “ Mengapa engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau? “ Tuhan berfirman : “ Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “ Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika apa yang kamu katakan adalah benar!” (QS al-Baqarah[2] : 30-31)

“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagaian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) , dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri keika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita – wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka da pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian  jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (QS al-Nisa [4]: 34)


Pembacaan kaum Muslim atas ayat-ayat al-Qur’an di atas tidak hanya membuat teks tersebut sebagai sumber legitimasi 2 kekuasaan  laki-laki atas perempuan, tetapi juga menimbulkan persepsi  kebenaran publik tentang bagaimana memperlakukan perempuan dalam masyarakat Muslim. Lak-laki berasal dari keadaan biologissebagai ciptaan primer , sementara perempuan adalah ciptaan sekunder. Perbedaan jenis kelamin membenarka karena laki-laki dalam pelestarian ras manusia dilihat sebagai penggerak pembuahan. Dalam hal keluarga, laki-laki dianggap lebih unggul karena al-Qur’an memberikan hak istimewa di atas perempuan dalam bidang – bidang berikut: ekonomi, warisan, kuasa cerai, hak memukul secara fisik dan hak untuk menjadi saksi. Suami sebagai pencari nafkah bertanggung jawab atas kedudukan sosial keuarga dan moralitas para anggota keluarganya, sementara istri adalah penjaga rumah tangga dan anak-anak.

Metode Ilmiah

Metode Ilmiah merupakan prosedur untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode  ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.5 Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut.6 Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metode ini dapat disebut juga Epistemologi, karena merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah sumber-sumber pengetahuan?

Dalam metode ilmiah ini mencoba untuk menggabungkan cara berfikir deduktif dan cara berfikir induktif dalam membangun pengetahuan yang utuh.

Cara berfikir deduktif memberikan sifat yang rasional, diman pengetahuan merupakan kepingan – kepingan yang bersifat konsisten yang dikumpulkan secara sistematis. Dengan demikian maka pengetahuan merupakan tubuh yang yang tersusun secara terorganisasikan dengan baik yang diibaratkan “ rumah atau batu bata yang cerai-berai “ 9

Cara berfikir Induktif memberikansifat yang rasional juga, namun berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi. Segala sesuatu yang  dianggap benar sesuai dengan faktual yang ada. Example : “ Salju itu bewarna putih “ maka pernyataan ini adalah benar kiranya. Jika diuji salju itu benar-benar putih. Namun bagi mereka yang  belum pernah melihat salju, maka diperlukan pengujian secara empiris berdasarkan pengalaman.

 Proses kegiatan ilmiah merupakan Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu 10 Tentu saja hal ini terjadi, kalau diperhatikan manusia manusia mulai mengamati suatu objek dikarenakan ketertarikan terhadap objek tersebut. Sehingga muncullah perhatian dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran dalam pengalaman yang menimbulkan pertanyaan.11

Seorang ilmuan yang bersifat skeptis (ragu-ragu); dia selalu meragukan segala sesuatu. Jika kita mengemukakan kepadanya suatu teori tertentu maka muncul keraguan yang tercermin pada sebuah pernyataan : Jelaskan kepada saya lalu berikan buktinya !. Dia  minta sebuah penjelasan yang disertai dengan bukti yang logis sehingga akan menimbulkan kepercayaan.
Sehingga dapat disimpulkan proses berfikir ilmiah adalah sesuatuyang dimulai dengan ragu-ragu dan diakhiri dengan percaya atau tidak percaya.

Example :
Mengapa agama mesti dimulai dengan rasa percaya sedangkan ilmu dengan ragu-ragu? Kunci jawabannya terletak pada daerah penjelajahan agama yang menjangkau ke luar dari daerah pengalaman manusia. Dalam keadaan seperti ini maka pengetahuan agamayang diwahyukan oleh Tuhan harus diterima dulu sebagai “hipotesis” yang kebenarannya kemudian diuji oleh kita. Proses pengujian ini adalah tidak sama dengan pengujian ilmiah yang berdasarkan  kepada tangakapan pancaindra sebab pengujian kebenaran agama harus dilakukan oleh seluruh aspek kemanusiaan kita seperti penalaran, perasaan, intuisi, imajinasi di samping pengalaman. Demikian tidak semua pernyataan agama dapat diversifikasi seperti adanya malaikat dan hari kemudian sebab hal ini berada di luar jangkauan pengalaman. Dengan demikian kepercayaan agama ini bersifat subyektif dan personal, berbeda dengan ilmu yang bersifat impersonal dan obyektif.


 Berikut pernyataan agama yang bisa dibuktikan dalam dunia nyata.

Adapun dalam  Biologi Kontemporer, riset tentang perkembangbiakan jauh lebih maju. Riset tersebut telah mencapai tahap di mana komposisi gen individu baru itu lebih bisa diprediksi daripada sebelumnya. Individu baru dimulai dari pembuahan di mana sperma atau gamet laki-laki, bercampur dengan ovum atau gamet perempuan  membentuk menjadi sebuah sel tunggal atau zigot di dalam prosesnya104. Zigot ini membawa kromosom dan gen-gen yang diwarisi dari masing-masing orangtua. Baik bapak maupun ibu berkontribusi jumlah kromosom dan gen yang setara terhadap zigot, bahkan dalam hal kromosom jenis kelamin ( X dan Y) 105
Komposisi gabungan kromosom-kromosom tersebut menentukan jenis kelamin janin. Hamilton dan Mossman menyatakan bahwa :

Jika sebuah sperma yang memilki kromosom 22+X bersatu denga sebuah ovum yang memiliki kromosom 22+X, jumlah totalnya akan menjadi 44+X+X, sehingga memunculkan zigot perempuan. Namun jika, sebuah sperma yang memiliki kromosom 22+Y bersatu dengan sebuah ovum yang memiliki kromosom 22+X, jumlah totalnya akan menjadi kromosom 44+X+Y, sehingga akan menghasilkan zigot laki-laki106.

Maka jelas terbuktinya antara agama dan ilmu selain agama merupakan gabungan yang perlu dikaji secara ilmiah. Sehingga dapat disimpulkan  mana  yang harus percaya dan tidak percaya.


Adapun di kutip dari buku  Jati Diri Perempuan Dalam Islam bahwa terdapat teori – teori penciptaan dan pengaruh yang menyertainya terhadap konstruksi jiwa ontologis, gender, dan kemanusiaan dalam masyarakat dan wacana umat Islam. Pandangan ini menyatakan bahwa umat manusia berasal dari Ayah bernama Adam. Berdasarkan kisah Adam dan Hawa, baik sarjana Muslim maupun orang Muslim awam percaya bahwa Adam diciptakan melalui sebuah cara yang lebih unggul ketimbang Hawa. Penafsiran ini telah menjadi kebenaran publik yang menentukan bagaimana perwujudan status laki-laki dan perempuan sebagai manusia. Meskipun kisah “ tulang  rusuk Adam “ telah ditafsirkan sedemikian rupa untuk mendukung ketidaksetaraan moral kedua jenis kelamin. Teori pertaman memaparkan bahwa status Adam sebagai makhluk utama dan pasangannya, Hawa, sebagai pelengkap, telah membentuk perbedaan kesetaraan. Hassan, yang telah memelopori penafsiran ulang teori penciptaan dalam Islam, menganggap isu kesetaraan dalam penciptaan merupakan “ lebih mendasar dan penting, baik secara filosofis maupun teologis, karena jika laki-laki dan perempuan diciptakan setara oleh Allah yang merupakan hakim nilai yang tertinggi, maka laki-laki dan perempuan pada dasarnya sejajar. Dan hal ini akan terjadi kalau perempuan memiliki potensi lebih dala bidang ilmu dari laki-laki.

Dalam penciptaan manusia menimbulkan perbedaan mendasar tentang pentingnya laki-laki dan perempuan9. Laki-laki dan perempuan adalah ciptaan yang hidup berdampingan yang membentuk kemanusiaan. Hal ini tentang kesetaraan ontologis dan keserupaan antara laki-laki dan perempuan karena “ kedua jenis kelamin diciptakan untuk berdampingan dalam kerangka saling cinta dan menghargai .”10


Meskipun muncul penolakan terhadap “ martabat penuh perempuan sebagai manusia “, 11 sehingga mengeluarkan mereka dari kemanusiaan yang adil. Namun menurut pendapat saya, hal ini seharurnya tidak terjadi karena wanita juga mempunyai kewajiban untuk bisa berkarya di depan seperti halnya laki-laki. Wanita tidak diperuntukan untuk berada di Dapur saja tapi kalau wanita mempunyai kulitas diri kenapa tidak dieksplorasikan dalam  realita. Walaupun menjadi wanita karir tapi tidak lupa dengan tanggung jawabnya menjadi Istri dan Ibu untuk anaknya.





ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI

Cogito ergo sum ! ( saya berfikir maka saya ada! ). Seseorang yang berfikir berarti dia benar adanya. Karena berfikir hakikatnya untuk benda hidup bukan benda mati. Seseorang dikatakan telah berhenti berfikir apabila batas hidupnya telah selesai. Dan menghadap sang Kuasa untuk mempertanggung jawabkan segalanya. Baik tindakan , apa yang dipikirkan, dan aplikasi dari pemikirannya. Ketiga Ahli filsafat berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia adalah filsafat mental.

Locke sendiri menganggap bahwa pikiran mausia pada mulanya dapat diibaratkan sebuah lempeng lilin yang licin ( tabula rasa) di mana pengalaman indera kemudian melekat pada lempeng tersebut. Makin lama makin banyak pengalaman indera yang terkumpul dan kombinasi dari pengalaman-pengalaman indera ini seterusnya membuahkan ide yang kian lama kian rumit. Dengan demikian pikiran dapat diibaratkan sebagai organ yang menagkap dan menyimpan  pengalaman indera .

Berkeley terkenal dengan pernyataannya, “ To be is to be perceived!” ( ada adalah disebabkan persepsi )

Di tembok sebuah universitas tertulis grafiti mengenai hakikat ada tersebut sebagai berikut :
To be is to be perceived
(BERKELEY)
To be or not to be
(HAMLET)
To be do be do ( dam! dam!)
(ARIE KUSMIRAN)

Suatu hari pada zaman Wild West, seorang jago tembak yang kenamaan, ditantang oleh seorang petani yang mabuk. Petani ini adalah orang biasa, jadi sama sekali bukan tipe Jango, yang bisa tembak sana sini dengan menutup mata, setelah ia minum wiski dan melahap 16 jenis masakan pesta. 5 Cuma karena mabuk saja dia berlagak jadi jagoan disebabkan otaknya
Yang sedang out dari udara. Kalau waras, mana berani dia menantang penembak profesional yang sudah punya reputasi seantaro dunia.

Nah, apa yang akan terjadi ? kata bandar tersebut. Bukankah kejadian seperti ini jarang ditemui seperti orang bisu yang menyanyi. Mulailah si bandar mengumpulkan data-data tentang lawannya.

Nama : Franco Nero, KTP nomor 0941940, RT 010, RW 13. Reputasi 30 duel, 30 kali menang dengan TM (Tembak Mati).
Sedangkan petani ini namanya belum tercatat dalam daftar Guiness Record, kecuali dalam buku Bapak Camat.

Berapa pasaran taruhan kita?
Bila semuanya berjalan beres, saran konsultan kepada bandar taruhan itu, berdasarkan data yang tercatat, maka paling tidak 30 berbanding 1 yang diramalkan petani memang itu akan mendapatkan one way ticket ke surga.
Lantas apanya yang mungkin tak beres? Tanya bandar kita, yang benar-benar ingin aman menanam modalnya.
Ya macam-macam, jawab konsulta yang ngobyek ini yang pekerjaan sebenarnya adalah dosen filsafat ilmu di universitas swasta, umapanya katana bahwa pistol si Jango itu punya kehendak sendiri( will free ), kan berabe?

Berabe, gimana?
Ya, mungkin  saja pistol itu tidak mau menembak orang berdosa.apalagi seorang non profesional yang belum diakreditasi. Jadi nembak ya nembak namun nembaknya ngawur seperti tendangan PSSI.
Ah, itu nonsens, jawab bandar taruhan, itu bersifat akademik dan sangat spekulatif, mana ada pistol punya pilihan bebas. Sekiranya pistol ditembakan dan tepat sasaran maka secara sasaran itu kena.

Oke , jawab konsultan kita, namun bagaimaa kalau pistolnya macet?
Macet bagaimana.
Ya Macet, klik! Jawab konsultan itu. Dari data yang dapat dikumpulkan ternyata bahwa dari 100 peluru yang belum ditembakkan sebuah pistol maka satu di antaranya adalah macet. Artinya secara probabilistik, meskipun peluangnya 1 dalam 100, mungkin saja pistol jago kita macet, yang mungkin dia kesambar berupa nasib.
Merenunglah si Bandar peluru dan filsuf ilmu sesudah itu. Mereka menduga apakah gejala alam ini merupaka kejadian diluar kemauan ( determinisme ) , atau  hukum alam  yang bersifat umum, ataukah  hukum  itu terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas, atukah umum sekedar berupa peluang? Tanpa mengetahui hal tersebut akansukar bagi kita untuk mengenal hakikat ilmu.
Lalu potong konsultan itu, yang merangkap jadi filsuf ilmu, pembahasan mengenai kejadia diluar kemauan, pilihan bebas dan kemungkinan itu tidak ada tentu tidak akan muncul? Tapi hal tersebut sering muncul dalam kehidupan kita yang tak terduga.
Benar juga ya, hukum alam itu memang benar-benar ada. Kalau tidak ada, maka tidak ada masalah mengenai hubungan logam dengan panas, tekanan dengan volume, atau IQ dengan keberhasilan belajar. Inilah hakikat ilmu itu sendiri.
Kesimpulan  dari  penulis : Ilmu itu penting, dalam mendapatkan diperlukan pengorbanan dan usaha keras. Seseorang yang berilmu tidak akan mengatakan sesuatu tanpa adanya ilmu. Sedangkan ilmu bukan hanya pengetahuan yang menarik hati untuk mengetahui, melainka kebenaran yang tersirat dari ilmu yang dipelajari.

Jadi berdasarkan teori-teori keilmuwan tidak akan pernah mendapatkan hal yang pasti mengenai suatu kejadian. Apakah kita akan tahu bahwa besok akan terjadi hujan atau tidak akan hujan. Jawab si ilmuwan yang termasuk golongan “ tahu ditahunya, tahu ditidaktahunya”,  saya hanya bisa mengatakan, umpamanya, bahwa dengan kemungkinan 0,8 esok tidak akan turun hujan.
“ Apa artinya peluang 0,8 ini”, tanya orang awam.
Peluang 0,8 artinya peluang turun hujan 8 dari 10, atau jika merasa pasti 1.0 besok turun hujan maksutnya 100 persen. Atau lebih tepatnya peluang 0,8 ini 10 kali ramalan hujan akan turun, 8 kali hujan itu turun, dan 2 kali ramalan itu meleset.
Jadi biarpun kita mempunyai peluang 0,8 bahwa hari akan hujan, namun masih terbuka kemungkinan bahwa hari tidak akan hujan?
“ Benar demikian,” sahut ilmuwan.5
“lalu apa gunanya pengetahuan semacam itu?” seru orang awam kita sambil memukulkan tinju.
Pertama harus saudara sadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi unuk mendapatkan pengetahuan bersifat mutlak.
Dimisalkan dalam soal pretensi ini maka ilmu kalah dengan pengetahuan perdukunan. Minum saja ini, saudara pasti sembuh. Jelas si dukun tidak akan pernah mengatakan minum air ini dan dengan peluang 0,8 maka saudara akan sembuh. Jadi ilmu itu memberikan pengetahuan untuk mengambil keputusan, dimana setiap keputusan perlu ditafsirkan kedalam kesimpulan ilmiah. Dengan demikian maka kata akhir dari suatu keputusan ada ditangan sendiri, bukan pada teori-teori keilmuan. Itulah sebabnya ada seseorang yang tidak pernah mau mengambil keputusan sendiri lebih senang pergi ke dukun. Berkonsultasi pada ahli psikologi paling-paling diberi alternatif-alternatif  yang dapat diambil, sedangkan  dukun berkata: Pilih jalan ini, saya jamin, pasti berhasil).




AXIOLOGI : Nilai Kegunaan Ilmu

Aksiologi Sampailah  pembahasan   kita kepada sebuah pertanyaan: Apakah  kegunaan ilmu itu bagi kita? Tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia dalam memberantas berbagai termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom kita bisa memanfaatkan wujud tersebut sebagai sumber energy bagi  keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga  berakibat  sebaliknya, yakni  membawa  manusia  kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan  malapetaka. Jadi  yang menjadi landasan dalam  tataran  aksiologi  adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika? Bagaimana penentuan obyek yang diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral?25 Demikian pula aksiologi pengembangan seni dengan kaidah moral, sehingga ketika seni tari dangdut Inul Dartista memperlihatkan goyangnya di atas panggung yang ditonton  khalayak  ramai, sejumlah ulama dan seniman menjadi berang. 

Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain, penemuan cara-cara licik ilmuan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatu bangsa, dan penemuan bayi tabung dapat menimbulkan bancana bagi terancamnya perdaban perkawinan. Berkaitan dengan etika, moral, dan estetika maka ilmu itu dapat dibagi menjadi dua kelompok: 1. Ilmu  Bebas  Nilai  Berbicara tentang ilmu akan membicarakan pula tentang etika, karena  sesungguhnya  etika  erat  hubungannya dengan ilmu. Bebas nilai atau  tidaknya  ilmu  merupakan masalah rumit, jawabannya bukan sekadar ya atau tidak. Sebenarnya  sejak  saat  pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543 M) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam  dan  menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi  matahari” dan  bukan  sebaliknya seperti yang diajarkan oleh agama (gereja) maka timbullah reaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sedangkan dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada pernyataan-pernyataan nilai berasal dari agama sehingga timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berakumulasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633 M.26 Volume Vonis inkuisisi Galileo memengaruhi perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertentangan antara ilmu yang ingin bebas dari nilainilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran (agama). Pada  kurun  waktu  itu  para  ilmuan  berjuang  untuk  menegakkan ilmu yang  berdasarkan  penafsiran  alam dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Latar belakang otonomi ilmu bebas dari ajaran agama (gereja) dan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan  konsepsional  yang  bersifat  kontemplatif kemudian  disusul dengan  penerapan  konsepkonsep ilmiah kepada masalah-masalah praktis. Sehingga Berthand Russell  menyebut  perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi.27
 
Dengan tahap perkembangan ilmu ini berada pada ambang kemajuan karena pikiran manusia  tak  tertundukkan  pada  akhirnya  ilmu  menjadi  suatu  kekuatan sehingga terjadilah  dehumanisasi  terhadap seluruh  tatanan  hidup  manusia. Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya  mempelajari  alam  dengan  mempertanyakan yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah  mana perkembangan  keilmuan  ini  diarahkan. Pertanyaan ini jelas bukan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuan seangkatannya, namun ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah dua kali mengalami perang dunia dan bayangan perang dunia ketiga. Pertanyaan ini tidak dapat dielakkan  dan  untuk  menjawab  pertanyaan ini maka ilmu berpaling kepada hakekat moral.28 Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat destruktif para ilmuan terbagi dalam dua pendapat. Golongan pertama menginginkan ilmu netral dari nilai-nilai baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. 

Golongan  kedua  berpendapat bahwa  netralitas  ilmu  hanya  terbatas  pada  metafisik keilmuan, namun dalam  penggunaannya  harus  berlandaskan  pada moral. Einstein  pada akhir  hayatnya  tak  dapat  menemukan  agama  mana yang sanggup menyembuhkan ilmu dari  kelumpuhannya  dan  begitu  pula moral  universal  manakah  yang  dapat mengendalikan ilmu, namun Einstein ketika sampai pada puncak pemikirannya dan penelaahannya  terhadap alam  semesta  ia  berkesimpulan  bahwa keutuhan ilmu merupakan integrasi  rasionalisme, empirisme dan  mistis  intuitif. 29 Perlunya penyatuan ideology tentang  ketidak  netralan ilmu  ada  beberapa  alasan, namun  yang  penting  dicamkan  adalah  pesan  Einstein  pada  masa  akhir  hayatnya “Mengapa  ilmu  yang  begitu indah, yang  menghemat  kerja, membikin  hidup lebih  mudah, hanya  membawa  kebahagiaan yang sedikit  sekali  pada  kita”. Adapun  permasalahan  dari  keluhan  Einstein  adalah  pemahaman dari  pemikiran  Francis Bacon  yang  telah  berabad-abad  telah  mengekang dan mereduksi nilai kemanusiaan dengam ide “pengetahuan adalah kekuasaan”. Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas dasar ontologi, epistemologi dan aksiologi haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas nilai 2. Teori tentang nilai Pembahasan tentang nilai akan dibicarakan tentang nilai sesuatu, nilai perbuatan, nilai situasi, dan nilai kondisi. Segala sesuatu kita beri nilai. Pemandangan yang indah, akhlak anak terhadap  orang  tuanya  dengan  sopan  santun, suasana  lingkungan  dengan  menyenangkan dan kondisi badan dengan nilai sehat. Ada perbedaan antara pertimbangan nilai dengan pertimbangan fakta. Fakta berbentuk kenyataan, ia dapat ditangkap dengan pancaindra, sedang nilai hanya dapat dihayati.30 Walaupun para filosof  berbeda pandangan tentang defenisi nilai, namun pada umumnya menganggap bahwa  nilai  adalah  pertimbangan  tentang  penghargaan. Pertimbangan  fakta  dan  pertimbangan nilai  tidak dapat dipisahkan, antara  keduanya  karena  saling  memengaruhi. Sifat-sifat benda yang dapat diamati juga termasuk dalam penilaian. Jika fakta berubah maka penilaian kita berubah ini berarti pertimbangan  nilai dipengaruhi oleh fakta. Fakta itu sebenarnya netral, tetapi manusialah yang memberikan  nilai kedalamannya sehingga ia mengandung  nilai. Karena  nilai  itu  maka benda itu mempunyai nilai. 

Namun  bagaimanakah  criteria  benda  atau  fakta  itu  mempunyai  nilai. Teori tentang  nilai  dapat  dibagi  menjadi  dua  yaitu  nilai  etika dan nilai estetika, 31Etika termasuk  cabang  filsafat  yang  membicarakan  perbuatan  manusia  dan  memandangnya dari  sudut  baik dan buruk. Adapun cakupan dari nilai etika adalah: Adakah  ukuran perbuatan  yang  baik yang berlaku  secara  universal bagi seluruh manusia, apakah dasar yang dipakai untuk menentukan adanya norma-norma universal tersebut, apakah yang dimaksud dengan pengertian baik dan buruk dalam perbuatan manusia, apakah yang dimaksud  dengan  kewajiban dan  apakah  implikasi suatu perbuatan baik dan buruk. Nilai etika diperuntukkan pada manusia saja, selain manusia (binatang, benda, alam) tidak mengandung  nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum  baik atau  buruk, salah atau benar. Contohnya  dikatakania mencuri, mencuri itu nilai etikanya jahat. Dan orang yang melakukan  itu dihukum  bersalah. Tetapi  kalau  kucing  mengambil ikan  dalam  lemari, tanpa izin tidak dihukum bersalah. Yang bersalah adalah kita yang tidak hati-hati, tidak menutup atau mengunci pintu lemari. 32

Adapun  estetika  merupakan  nilai-nilai  yang  berhubungan  dengan  kreasi  seni, dan pengalaman-pengalaman  yang  berhubungan  dengan  seni atau kesenian. Kadang estetika diartikan sebagai  filsafat  seni dan  kadang-kadang  prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan dengan keindahan. Syarat estetika terbatas pada lingkungannya, disamping juga terikat dengan ukuran-ukuran etika.

Etika  menuntut  supaya  yang  bagus  itu  baik. Lukisan porno dapat mengandung nilai estetika, tetapi akal sehat menolaknya, karena tidak etika. Sehingga kadang orang memetingkan  nilai  panca-indra dan  mengabaikan  nilai  ruhani. 33 Orang hanya mencari nilai  nikmat  tanpa  mempersoalkan  apakah  ia baik  atau buruk. Nilai estetika tanpa diikat oleh  ukuran  etika dapat berakibat  mudarat  kepada estetika, dan dapat merusak. Menurut Randal, ada  tiga  interpretasi  tentang  hakikat seni, yaitu: 1. Seni  sebagai  penembusan (penetrasi) tehadap  realisasi disamping  pengalaman. 2. Seni  sebagai  alat  untuk  kesenangan, seni tidak berhubungan  dengan  pengetahuan  tentang  alam  dan  memprediksinya , tetapi manipulasi alam untuk kepentingan kesenangan. 3. Seni sebagai ekspresi sungguh-sungguh  tentang  pengalaman.34 Uraian  tersebut  di atas dapat  disimpulkan  bahwa  penilaian  baik dan buruk  terletak  pada manusia  itu  sendiri. Namun  dalam  Islam  penilaian  baik dan  buruknya  sesuatu  mempunyai  nilai yang universal yaitu al-Qur’an dan hadis.














BAB III
PENUTUP


3.1.                    Kesimpulan :

Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi ( filsafat pengetahuan ) yang      secara spesifik mengkaji hakikat ilmu ( pengetahuan ilmiah ).

Cabang- Cabang Ilmu terdiri dari 3 :
Epistemologi : Cara Mendapatkan Pengetahuan Yang Benar
Ontologi : Hakikat Apa Yang Dikaji
Axiologi : Nilai Kegunaan Ilmu



DAFTAR PUSTAKA

1.      Durant, Will, The Story of Philosophy (New York : Simon & Schuster, 1933), hlm.1-4
2.       Sagan, Carl, The Cosmic Connection (New York: Dell, 1975)
3.      William van Loon, Hendrik, The Story of Mankind ( New York : The Pocket Library1945), hlm. 211
4.      Abou  El  Fadl, Khaled (2001) Speaking in God’s Name : Islamic Law, Authority, and Women, Oxford : Oneworld (1996) hlm. 2
5.      Kline, Moris, “The Meaning of Mathematics”, Adventuren of The Mind (New York: Vintage, 1961), hlm. 8
6.      Calder, Rilehie, Science in Our Life (New York: New American  Library 1955) hlm. 37
7.      Wilardjo,  Liek, “ Tanggung  Jawab Sosial Ilmuwan “, Pustaka, Th. III No.3, April 1979, hlm. 11-14
8.      Persaud and Moore, The Developing Human, hlm. 14
9.      Ibid, hlm. 4
10.  H.W. Mossman  and  W.J Hamilthon (1972) Human  Embryology : Prenatal Development of From and Function, Cambfridge: W. Heffer & Sons LTD and Baltimore: The William & Wilkins Company, hlm. 32-33
11.  Wadud-Muhsin, Qur’an  and  Women, hlm. 15
12.  Barlas “ Believing Woman” dalam  Islam , hlm. 134
13.  Esack, “ Islam and Gender Justice” hlm. 191
14.  Saefuddin et.al, Desekularisasi Pemikiran: landasan Islamisasi, Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998.
15.  Salam, Burhanuddin. Logika Material Filsafat Materi, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
16.  Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. X; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 33.
17.  Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat
18.  Ilmu, Cet. XIII; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.
19.  Syafii, Inu Kencana. Pengantar Filsafat, Cet. I; Bandung: Refika Aditama, 2004.
20.  Tim Penulis Rosdakarya, Kamus Filsafat, Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata Mutiara

 #katakatabijak #katamutiara #katamuslimah #quotes #quotesmuslimah