Menyelesaikan
Problem dengan Cabang-Cabang Filsafat
Disusun untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Syariah Islamiyah
Dosen
Pengampu: Drs. Ommon,
M.Pd
Di buat oleh :
Yuliana
Marfungatun Nikmah H. 1710415
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR
2018
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya dapat menyelesaikan pemberian tugas ini. Shalawat serta salam senantiasa
terhatur kepada Rasul yang diutus
sebagai rahmat bagi alam semesta, kepada keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya, serta kepada orang-orang
yang senantiasa berjalan di jalannya dan berpegang pada petunjuknya
hingga hari Kiamat.
Penyajian dalam
makalah ini kami tampilkan dalam bentuk yang mudah dipahami
serta menjelaskan uraian singkat mengenai Cabang-Cabang Filsafat.
Kam mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Ommon, M.Pd. selaku
Dosen pembimbing yang memberikan masukan nasehat dan saran serta teman-teman
yang bersedia menyediakan waktu, tenaga, pikiran dan kerjasamanya
dalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat diselesaikan
dengan baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.Amiin.
Kami menyadari bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa dan tersedianya
referensi atau sumber dari berbagai buku dan media sangat membantu kami dalam
menyajikan makalah yang sesuai.Oleh karena itu kami dengan tangan terbuka
menerima kritik dan saran demi kebaikan bersama sangat diharapkan sebagai bahan
evaluasi atau revisi dari makalah ini.
Akhir
kata, tidak ada karya manusia yang sempurna selain dari karya-Nya. Demikian
pula dengan makalah ini, masih jauh dari apa yang kita harapkan bersama. Untuk
itu kepada dosen pembimbing saya minta masukan demi perbaikan pembuatan makalah
kami dimasa yang akan datang.
Bogor, Juni 2018
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar .................................................................................................. ii
Daftar
Isi ........................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 5
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 5
1.3 Tujuan Pernikahan ...................................................................................... 6
BAB II
PEMBAHASAN
2.2. Cabang-Cabang Filsafat
2.2.1.
Epistemologi ....................................................................................... 10
2.2.2.
Ontologi ............................................................................................... 15
2.2.3.
Axiologi ............................................................................................... 15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pengetahuan adalah buah dari berfikir, sedangkan
berfikir itu sendiri adalah sebagai pembeda manusia dengan makhluk yang
lainnya. Ketika manusia mempunyai sebuah masalah, manusia pasti akan berfikir
“apa yang sedang terjadi?”,”dengan cara apa masalah ini bisa
diselesaikan?”,”mengapa ini bisa terjadi?” dan berbagai pertanyaan lainnya.
Dengan berbagai macam pertanyaan, kita sebenarnya
sudah terlibat dalam karya berfilsafat. Karena itu filsafat pertama-tama
merupakan suatu sikap. Ia mempersoalkan cara, metode dan bagaimana orang
mempertanyakan segala sesuatu.
ilmu pengetahuan landasan yang
digunakan adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi, atau dengan kata lain apa, bagaimana dan
kemana ilmu itu. Hakekat obyek ilmu (ontologi) terdiri dari objek materi yang
terdiri dari jenisjenis dan sifat-sifat ilmu pengetahuan dan objek forma yang
terdiri dari sudut pandang dari objek itu. Epistemologi diawali dengan
langkah-langkah : perumusan masalah, penyusunan kerangka pikiran, perumusan
hipotesis, dan penarikan kesimpulan. Nilai kegunaan ilmu tergantung dari
manusia yang memanfaatkannya. Dalam realitas manusia terdiri dari dua golongan
;pertama golongan yang mengatakan bahwa ilmu itu bebas mutlak berdiri sendiri.
Golongan kedua berpendapat bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Adapun dalam Islam
ilmu itu tidak bebas nilai ia dilandasi oleh hokum normatif transendental.
Nilai yang menjadi dasar dalam penilaian baik buruknya segala sesuatu dapat
dilihat dari nilai etika (agama) dan estetika. Keywords; Ontologi,
Epistemologi.
Ilmu filsafat menurut Hasbullah Backry
yaitu filsafat yang mempelajari segala sesuatu secara mendetail atau mengenai
ketuhanan, alam dan kemanusiaan. Filsafat bisa disebut juga sebagai induk dari
segala ilmu. Ilmu ini juga mempunyai beberapa cabang seperti metafisika,
epistomologi dan aksiologi yang akan kami bahas pada makalah ini.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Filsafat Ilmu dan Cabang-Cabang
Filsafat Ilmu
2. Bagaimana mengupas
solusi-solusi dalam sekolah
1.3 Tujuan
Penulisan
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu mengenai Cabang-Cabang Ilmu itu sendiri, semester
II. Setelah
belajar mata kuliah ini diharapkan agar para mahasiswa lebih memahami secara mendalam tentangFilsafat Ilmu ,
serta memantapkan dan menambah wawasan pengetahuan dalam
mengajarkan pokok bahasan tentang pernikahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
Filsafat
Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (
filsafat pengetahuan ) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu ( pengetahuan
ilmiah ). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan
ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat
khas, sehingga filsafat ilmu mempunyai pembagian sesuai bidang-bidang yan
menjadi pengetahuan, yakni ilmu-ilmu alamatau ilmu-ilmu sosial.
Apakah yang sebenarnya ditelaah filsafat ?
Selaran dengan dasarnya yang spekulatif, maka menelaah
segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan
fungsinya dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada: terjawablah
masalah yang satu, dia pun mulai merambah pertanyaan lain. Tent saja tiap kurun
zaman mempunyai masalah yang merupakan mode pada waktu itu. Filsafat yang
sedang pop mungkin mengenai UFO : apakah Cuma kita satu-satunya “manusia” yang
menghuni semesta ini?6 . Hari ini selaras dengan usaha peningkatan
kemampuan penalaran maka filsafat ilmu menjadi “ ngetop “, sedangkan dalam
masa-masa mendatang maka yang akan menjadi perhatian kemungkinan besar bukan
lagi filsafat ilmu, melainkan filsafat moral yang berkaitan dengan ilmu.
Apakah hidup ini sebenarnya? Apakah hidup itu sekadar
peluang dengan nasib yang melempar dadu acak?5 ( Bila asumsi Tuhan
itu adil maka penciptaan haruslah diacak! ). Hidup adalah anugerah yang
diberikan Allah SWT kepada manusia. Dalam hidup banyak peluang dan nasib adalah
salah satu perwujudan dalam mengambil sebuah peluang. Peluang akan muncul
beberapa kali dalam hidup untuk menentukan nasib, maka berpikirlah dalam
mengambil peluang.
Skenario bermula pada suatu pertemuan ilmiah tingkat “
tinggi “, di mana seorang ilmuwan bicara panjang lebar tentang suatu penemuan
ilmiah dalam risetnya. Setelah berjam-jam dia bicara maka dia pun menyeka
keringatnya dan bertanya kepada hadirin: adakah kiranya yang belum jelas ?
salah seorang bangkit dan seperti seorang pekak memasang kedua belah tangan di
samping kupingnya: Apa ( Rupanya sejak tadi ia tidak mendengar apa-pa)
Memang orang itu sejak tadi “ tidak mendengar apa-apa” sebab “ tidak
tertarik mendengar apa-apa “ sebab tidak ada apa-apa yang berharga untuk
didengar “. Orang baru mau mendengar pendapat yang bersifat ilmiah melalui
cara/prosedur ilmiah. Biarpun pembiacara mengutip pendapat sekian pemenang
hadiah Nobel, mengemukakan sekian fakta yang aktual; namun bila bagi dia tidak
jelas mana masalah, yang mana hipotesisi; yang mana kerangka pemikiran, yang
mana kesimpulan; yang keseluruhannya terkait dan tersusun dalam penalaran
ilmiah; bagi dia semua itu sekedar GIGO ( maksudnya keluar dari telinga kiri G
dan keluar telinga kanan juga G).6 Tugas utama filsafat, kata
Wittgenstein bukanlah menghasilkan susunan pernyataan , melainkan menyatakan
sebuah pernyataan sejelas mungkin.7
Dengan demikian maka epistemologi dan bahasa merupakan
hal utama.
Terdapat beberapa jenis manusia dalam kehidupan ini
berdasarkan pengetahua.
Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidak tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya
“ Bagaimanakah caranya agar saya mendapatkan
pengetahuan yang benar?” sambung orang awam itu; penuh hasrat dalam
ketidaktahuannya.
“Mudah saja, “ jawab filsuf itu, “ ketahuilah apa yang
kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian
dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya.
Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita ketahui dan apa yang
belum diketahui.
Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak
bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi.
Berfisafatlah tentang ilmu berarti kita terus terang kepada diri kita sendiri:
Apakah sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu? Apakah ciri-cirinya yang
hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya bukan ilmu?
Sering kita melihat seorang Ahli fisika nuklir
memandang rendah kepada ahli ilmu sosial, Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari
lulusan IPS. Atau lebih rendah lagi seorang ilmuawan memandang rendah nilai
estetika dan moral. Meraka para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin
keilmuannya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan
tercengang: Lho, kok masih ada langit lain di luar tempurung kita. Dan kita pun
lalu menyadari kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu, simpul Sokrates, ialah
bahwa saya tidak tahu apa-apa. Inilah kehdupan hendaklah jangan sombong
terhadap apa dikira oleh diri lebih baik dibanding apa yang diperoleh oleh
orang lain. Sikap saling menghormati ilmu perlu diterapkan karena seseorang
dalam memperoleh ilmu , entah ilmu apapun itu butuh proses panjang dan penuh
lika-liku.
Kadang kurang
di sadari bahwa tiap ilmu, terutaman ilmu-ilmu sosial, mempunyai asumsi tententu tentang manusia yang menjadi
lakon utama dalam kajian keilmuannya.
Contoh yang agak berdekatan yakni ilmu ekonomi dan manajemen. Kedua ilmu ini
mmepunyai asumsi tentang manusia yang berbeda. Ilmu ekonomi mempunyai asumsi
bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang bertujuan encari kenikmatan
sebesar-besarnya dan menjauhi ketidaknyamanan semungkin. Manusia adalah makhluk
hedonis yang serakah , mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Sedangkan ilmu
manajemen mempunyai asumsi menelaah kerja sama antarsesama manusia dalam
mencapai suatu tujuan yang disetujui
bersama, mengatur apa yang harus diatur,
mengarahkan apa yang perlu diarahkan. Sehingga manusia tidak lepas dengan manusia lain dalam membuat aturan
serta saling bekerja sama.
Cabang-Cabang
Filsafat
Setelah memahami apa itu filsafat dan bagiamana
seorang menemukan titik benar dalam memecahkan masalah, filsafat sendiri
memilki cabang-cabang yang mencangkup pokok permasalahan. Permaslahan yang
dikaji yaitu apa yang disebut benar, apa yang disebut salah (logika), mana yang
dianggap baik dan mana yang dianggap
buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang dimaksud jelek
(estetika). Diantaranya cabang-cabang filsafat ilmu mencakup :
1. Ontologi
2. Epistemologi
3. Axiologi
EPISTEMOLOGI
: CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR
Salah satu cabang pengetahuan itu berkembang menurut jalannya
sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya
terutama segi metodenya. Metode keilmuan
jelas berbeda dengan ilmu yang merpakan paradigma Abad pertenahan. Demikian
juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu
dipergunakan.
Secara metafisik ilmu mulai
dipisahkan dengan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Example :
“ saya adalah seorang Dokter Polan,
ali burung betet betina,” demikian dalam abad spesialisasi ini serang
memperkenalkan diri. Jadi tidak lagi ahli zoologi, atau ahli burung, bukan juga
ahli betet, melainkan betet betina.
“ceritakan Dok, bagaimana membedakan
burung betet betina sedangkan burung
betet jantan !”
“Burung betet jantan makan cacing
betina sedangkan burung betet betina makan cacing betet jantan !”
“Bagaimana membedakan cacing jantan
dengan cacing betina ?”
“Wah, itu di luar profesi da keahlian
saya.sadara harus bertanya kepada seorang ali cacing.”
Disinilah tergabarkan, makin
sempitnya disiplin ilmu itu tidak menimbulkan masalah, sebab dalam kehidupan
nyata seperti pembangunan pemukian manusia, maka masalah yang dihadapi demikian
banyak dan jelimet.
Pendekatan inter-disipliner memang
merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing
disiplin keilmuan yang telah berkembang berdasarka route-nya masing-masing,
melainkan dengan menciptakan paradigma5 baru. Paradigma ini adalah
bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperti logika, matematika, statistika
dan bahasa.
Dapat diambil suatu pemikiran
bagaimana sistem gender itu dihasilkan. Melalui logika yang terus menerus di
asah berikut pembahasannya .
Logika berpikir gender ini merpakan
suatu cara kaum muslim terhadap produksi sistem gender dan jati diri seseorang.
Sistem yang dikenal oleh laki-laki dan perempuan Muslim adalah bersifat bias
gende, kerena sistem tersebut diartikan berdasarkan politik perbedaan antara
laki-laki da perempuan. Hal tersebut menyatakan bahwakepemimpinan laki-laki
lebih sempurna daripada perempuan. Visi bias gender dalam pandangan kebenaran
publik sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam di Jazirah Arabia. Pola
perkawinan, hubungan kesukuan, perbudakan, senioritas laki-laki, pembunuhan
anak perempuan, dan dendam turun – temurun telah membentuk kehidupan dan
pengalaman perempuan di masa sebelum kedatangan Islam. Jazirah Arab ini memandang rendah moral
perempuan, “ karena watak perempuan
merupakan kebalikan dari apa yang dianggap
oleh orang Arab sebagai model laki-laki yang sempurna”.
Berikut ini adalah contoh ayat-ayat
al-Qur’an yang telah dibaca menrut pandangan dunia :
“
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “ Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu.” Mereka berkata: “ Mengapa engkau
hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau? “ Tuhan
berfirman : “ Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “ Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika apa yang kamu katakan adalah benar!” (QS
al-Baqarah[2] : 30-31)
“
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagaian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) , dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
keika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita –
wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka da pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi
Mahabesar. (QS al-Nisa [4]: 34)
Pembacaan kaum Muslim atas ayat-ayat
al-Qur’an di atas tidak hanya membuat teks tersebut sebagai sumber legitimasi 2
kekuasaan laki-laki atas perempuan,
tetapi juga menimbulkan persepsi
kebenaran publik tentang bagaimana memperlakukan perempuan dalam
masyarakat Muslim. Lak-laki berasal dari keadaan biologissebagai ciptaan primer
, sementara perempuan adalah ciptaan sekunder. Perbedaan jenis kelamin
membenarka karena laki-laki dalam pelestarian ras manusia dilihat sebagai
penggerak pembuahan. Dalam hal keluarga, laki-laki dianggap lebih unggul karena
al-Qur’an memberikan hak istimewa di atas perempuan dalam bidang – bidang
berikut: ekonomi, warisan, kuasa cerai, hak memukul secara fisik dan hak untuk
menjadi saksi. Suami sebagai pencari nafkah bertanggung jawab atas kedudukan
sosial keuarga dan moralitas para anggota keluarganya, sementara istri adalah
penjaga rumah tangga dan anak-anak.
Metode Ilmiah
Metode Ilmiah merupakan prosedur
untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan
pengetahuan yang didapatkan melalui metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan
yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Metode, menurut
Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai
langkah-langkah yang sistematis.5 Metodologi merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut.6
Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang
terdapat dalam metode ilmiah. Metode ini dapat disebut juga Epistemologi,
karena merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan:
Apakah sumber-sumber pengetahuan?
Dalam metode ilmiah ini mencoba untuk
menggabungkan cara berfikir deduktif dan cara berfikir induktif dalam membangun
pengetahuan yang utuh.
Cara berfikir deduktif memberikan
sifat yang rasional, diman pengetahuan merupakan kepingan – kepingan yang
bersifat konsisten yang dikumpulkan secara sistematis. Dengan demikian maka
pengetahuan merupakan tubuh yang yang tersusun secara terorganisasikan dengan
baik yang diibaratkan “ rumah atau batu bata yang cerai-berai “ 9
Cara berfikir Induktif
memberikansifat yang rasional juga, namun berdasarkan kriteria kebenaran
korespondensi. Segala sesuatu yang
dianggap benar sesuai dengan faktual yang ada. Example : “ Salju itu
bewarna putih “ maka pernyataan ini adalah benar kiranya. Jika diuji salju itu
benar-benar putih. Namun bagi mereka yang
belum pernah melihat salju, maka diperlukan pengujian secara empiris
berdasarkan pengalaman.
Proses kegiatan ilmiah merupakan Ritchie
Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu 10 Tentu saja hal ini
terjadi, kalau diperhatikan manusia manusia mulai mengamati suatu objek
dikarenakan ketertarikan terhadap objek tersebut. Sehingga muncullah perhatian
dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran dalam pengalaman yang
menimbulkan pertanyaan.11
Seorang ilmuan yang bersifat skeptis
(ragu-ragu); dia selalu meragukan segala sesuatu. Jika kita mengemukakan
kepadanya suatu teori tertentu maka muncul keraguan yang tercermin pada sebuah
pernyataan : Jelaskan kepada saya lalu berikan buktinya !. Dia minta sebuah penjelasan yang disertai dengan
bukti yang logis sehingga akan menimbulkan kepercayaan.
Sehingga dapat disimpulkan proses
berfikir ilmiah adalah sesuatuyang dimulai dengan ragu-ragu dan diakhiri dengan
percaya atau tidak percaya.
Example :
Mengapa agama mesti dimulai dengan
rasa percaya sedangkan ilmu dengan ragu-ragu? Kunci jawabannya terletak pada
daerah penjelajahan agama yang menjangkau ke luar dari daerah pengalaman
manusia. Dalam keadaan seperti ini maka pengetahuan agamayang diwahyukan oleh
Tuhan harus diterima dulu sebagai “hipotesis” yang kebenarannya kemudian diuji
oleh kita. Proses pengujian ini adalah tidak sama dengan pengujian ilmiah yang
berdasarkan kepada tangakapan pancaindra
sebab pengujian kebenaran agama harus dilakukan oleh seluruh aspek kemanusiaan
kita seperti penalaran, perasaan, intuisi, imajinasi di samping pengalaman.
Demikian tidak semua pernyataan agama dapat diversifikasi seperti adanya
malaikat dan hari kemudian sebab hal ini berada di luar jangkauan pengalaman.
Dengan demikian kepercayaan agama ini bersifat subyektif dan personal, berbeda
dengan ilmu yang bersifat impersonal dan obyektif.
Berikut pernyataan agama yang bisa dibuktikan
dalam dunia nyata.
Adapun dalam Biologi Kontemporer, riset tentang perkembangbiakan
jauh lebih maju. Riset tersebut telah mencapai tahap di mana komposisi gen
individu baru itu lebih bisa diprediksi daripada sebelumnya. Individu baru
dimulai dari pembuahan di mana sperma atau gamet laki-laki, bercampur dengan
ovum atau gamet perempuan membentuk
menjadi sebuah sel tunggal atau zigot di dalam prosesnya104. Zigot
ini membawa kromosom dan gen-gen yang diwarisi dari masing-masing orangtua.
Baik bapak maupun ibu berkontribusi jumlah kromosom dan gen yang setara
terhadap zigot, bahkan dalam hal kromosom jenis kelamin ( X dan Y) 105
Komposisi gabungan kromosom-kromosom
tersebut menentukan jenis kelamin janin. Hamilton dan Mossman menyatakan bahwa
:
Jika sebuah sperma yang memilki
kromosom 22+X bersatu denga sebuah ovum yang memiliki kromosom 22+X, jumlah
totalnya akan menjadi 44+X+X, sehingga memunculkan zigot perempuan. Namun jika,
sebuah sperma yang memiliki kromosom 22+Y bersatu dengan sebuah ovum yang
memiliki kromosom 22+X, jumlah totalnya akan menjadi kromosom 44+X+Y, sehingga
akan menghasilkan zigot laki-laki106.
Maka jelas terbuktinya antara agama
dan ilmu selain agama merupakan gabungan yang perlu dikaji secara ilmiah.
Sehingga dapat disimpulkan mana yang harus percaya dan tidak percaya.
Adapun di kutip dari buku Jati Diri Perempuan Dalam Islam bahwa
terdapat teori – teori penciptaan dan pengaruh yang menyertainya terhadap
konstruksi jiwa ontologis, gender, dan kemanusiaan dalam masyarakat dan wacana
umat Islam. Pandangan ini menyatakan bahwa umat manusia berasal dari Ayah
bernama Adam. Berdasarkan kisah Adam dan Hawa, baik sarjana Muslim maupun orang
Muslim awam percaya bahwa Adam diciptakan melalui sebuah cara yang lebih unggul
ketimbang Hawa. Penafsiran ini telah menjadi kebenaran publik yang menentukan
bagaimana perwujudan status laki-laki dan perempuan sebagai manusia. Meskipun
kisah “ tulang rusuk Adam “ telah
ditafsirkan sedemikian rupa untuk mendukung ketidaksetaraan moral kedua jenis
kelamin. Teori pertaman memaparkan bahwa status Adam sebagai makhluk utama dan
pasangannya, Hawa, sebagai pelengkap, telah membentuk perbedaan kesetaraan.
Hassan, yang telah memelopori penafsiran ulang teori penciptaan dalam Islam,
menganggap isu kesetaraan dalam penciptaan merupakan “ lebih mendasar dan
penting, baik secara filosofis maupun teologis, karena jika laki-laki dan
perempuan diciptakan setara oleh Allah yang merupakan hakim nilai yang
tertinggi, maka laki-laki dan perempuan pada dasarnya sejajar. Dan hal ini akan
terjadi kalau perempuan memiliki potensi lebih dala bidang ilmu dari laki-laki.
Dalam penciptaan manusia menimbulkan
perbedaan mendasar tentang pentingnya laki-laki dan perempuan9.
Laki-laki dan perempuan adalah ciptaan yang hidup berdampingan yang membentuk
kemanusiaan. Hal ini tentang kesetaraan ontologis dan keserupaan antara
laki-laki dan perempuan karena “ kedua jenis kelamin diciptakan untuk
berdampingan dalam kerangka saling cinta dan menghargai .”10
Meskipun muncul penolakan terhadap “
martabat penuh perempuan sebagai manusia “, 11 sehingga mengeluarkan
mereka dari kemanusiaan yang adil. Namun menurut pendapat saya, hal ini
seharurnya tidak terjadi karena wanita juga mempunyai kewajiban untuk bisa
berkarya di depan seperti halnya laki-laki. Wanita tidak diperuntukan untuk
berada di Dapur saja tapi kalau wanita mempunyai kulitas diri kenapa tidak
dieksplorasikan dalam realita. Walaupun
menjadi wanita karir tapi tidak lupa dengan tanggung jawabnya menjadi Istri dan
Ibu untuk anaknya.
ONTOLOGI
: HAKIKAT APA YANG DIKAJI
Cogito ergo sum ! ( saya berfikir maka
saya ada! ). Seseorang yang berfikir berarti dia benar adanya. Karena berfikir
hakikatnya untuk benda hidup bukan benda mati. Seseorang dikatakan telah
berhenti berfikir apabila batas hidupnya telah selesai. Dan menghadap sang
Kuasa untuk mempertanggung jawabkan segalanya. Baik tindakan , apa yang
dipikirkan, dan aplikasi dari pemikirannya. Ketiga Ahli filsafat berpendapat
bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap
pengalaman manusia adalah filsafat mental.
Locke sendiri menganggap bahwa
pikiran mausia pada mulanya dapat diibaratkan sebuah lempeng lilin yang licin ( tabula rasa) di mana pengalaman indera
kemudian melekat pada lempeng tersebut. Makin lama makin banyak pengalaman
indera yang terkumpul dan kombinasi dari pengalaman-pengalaman indera ini
seterusnya membuahkan ide yang kian lama kian rumit. Dengan demikian pikiran
dapat diibaratkan sebagai organ yang menagkap dan menyimpan pengalaman indera .
Berkeley terkenal dengan
pernyataannya, “ To be is to be perceived!” ( ada adalah disebabkan persepsi )
Di tembok sebuah universitas tertulis
grafiti mengenai hakikat ada tersebut sebagai berikut :
To be is to be perceived
(BERKELEY)
To be or not to be
(HAMLET)
To be do be do ( dam! dam!)
(ARIE KUSMIRAN)
Suatu hari pada zaman Wild West,
seorang jago tembak yang kenamaan, ditantang oleh seorang petani yang mabuk.
Petani ini adalah orang biasa, jadi sama sekali bukan tipe Jango, yang bisa
tembak sana sini dengan menutup mata, setelah ia minum wiski dan melahap 16
jenis masakan pesta. 5 Cuma karena mabuk saja dia berlagak jadi
jagoan disebabkan otaknya
Yang sedang out dari udara. Kalau
waras, mana berani dia menantang penembak profesional yang sudah punya reputasi
seantaro dunia.
Nah, apa yang akan terjadi ? kata
bandar tersebut. Bukankah kejadian seperti ini jarang ditemui seperti orang
bisu yang menyanyi. Mulailah si bandar mengumpulkan data-data tentang lawannya.
Nama : Franco Nero, KTP nomor
0941940, RT 010, RW 13. Reputasi 30 duel, 30 kali menang dengan TM (Tembak Mati).
Sedangkan petani ini namanya belum
tercatat dalam daftar Guiness Record, kecuali dalam buku Bapak Camat.
Berapa pasaran taruhan kita?
Bila semuanya berjalan beres, saran
konsultan kepada bandar taruhan itu, berdasarkan data yang tercatat, maka paling
tidak 30 berbanding 1 yang diramalkan petani memang itu akan mendapatkan one
way ticket ke surga.
Lantas apanya yang mungkin tak beres?
Tanya bandar kita, yang benar-benar ingin aman menanam modalnya.
Ya macam-macam, jawab konsulta yang
ngobyek ini yang pekerjaan sebenarnya adalah dosen filsafat ilmu di universitas
swasta, umapanya katana bahwa pistol si Jango itu punya kehendak sendiri( will
free ), kan berabe?
Berabe, gimana?
Ya, mungkin saja pistol itu tidak mau menembak orang
berdosa.apalagi seorang non profesional yang belum diakreditasi. Jadi nembak ya
nembak namun nembaknya ngawur seperti tendangan PSSI.
Ah, itu nonsens, jawab bandar
taruhan, itu bersifat akademik dan sangat spekulatif, mana ada pistol punya
pilihan bebas. Sekiranya pistol ditembakan dan tepat sasaran maka secara
sasaran itu kena.
Oke , jawab konsultan kita, namun
bagaimaa kalau pistolnya macet?
Macet bagaimana.
Ya Macet, klik! Jawab konsultan itu.
Dari data yang dapat dikumpulkan ternyata bahwa dari 100 peluru yang belum
ditembakkan sebuah pistol maka satu di antaranya adalah macet. Artinya secara
probabilistik, meskipun peluangnya 1 dalam 100, mungkin saja pistol jago kita
macet, yang mungkin dia kesambar berupa nasib.
Merenunglah si Bandar peluru dan
filsuf ilmu sesudah itu. Mereka menduga apakah gejala alam ini merupaka
kejadian diluar kemauan ( determinisme ) , atau hukum alam yang bersifat umum, ataukah hukum itu
terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas, atukah umum
sekedar berupa peluang? Tanpa mengetahui hal tersebut akansukar bagi kita untuk
mengenal hakikat ilmu.
Lalu potong konsultan itu, yang
merangkap jadi filsuf ilmu, pembahasan mengenai kejadia diluar kemauan, pilihan
bebas dan kemungkinan itu tidak ada tentu tidak akan muncul? Tapi hal tersebut
sering muncul dalam kehidupan kita yang tak terduga.
Benar juga ya, hukum alam itu memang
benar-benar ada. Kalau tidak ada, maka tidak ada masalah mengenai hubungan
logam dengan panas, tekanan dengan volume, atau IQ dengan keberhasilan belajar.
Inilah hakikat ilmu itu sendiri.
Kesimpulan dari
penulis : Ilmu itu penting, dalam mendapatkan diperlukan pengorbanan dan
usaha keras. Seseorang yang berilmu tidak akan mengatakan sesuatu tanpa adanya
ilmu. Sedangkan ilmu bukan hanya pengetahuan yang menarik hati untuk
mengetahui, melainka kebenaran yang tersirat dari ilmu yang dipelajari.
Jadi berdasarkan teori-teori
keilmuwan tidak akan pernah mendapatkan hal yang pasti mengenai suatu kejadian.
Apakah kita akan tahu bahwa besok akan terjadi hujan atau tidak akan hujan.
Jawab si ilmuwan yang termasuk golongan “ tahu ditahunya, tahu
ditidaktahunya”, saya hanya bisa
mengatakan, umpamanya, bahwa dengan kemungkinan 0,8 esok tidak akan turun
hujan.
“ Apa artinya peluang 0,8 ini”, tanya
orang awam.
Peluang 0,8 artinya peluang turun
hujan 8 dari 10, atau jika merasa pasti 1.0 besok turun hujan maksutnya 100
persen. Atau lebih tepatnya peluang 0,8 ini 10 kali ramalan hujan akan turun, 8
kali hujan itu turun, dan 2 kali ramalan itu meleset.
Jadi biarpun kita mempunyai peluang
0,8 bahwa hari akan hujan, namun masih terbuka kemungkinan bahwa hari tidak
akan hujan?
“ Benar demikian,” sahut ilmuwan.5
“lalu apa gunanya pengetahuan semacam
itu?” seru orang awam kita sambil memukulkan tinju.
Pertama harus saudara sadari bahwa
ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi unuk mendapatkan
pengetahuan bersifat mutlak.
Dimisalkan dalam soal pretensi ini
maka ilmu kalah dengan pengetahuan perdukunan. Minum saja ini, saudara pasti
sembuh. Jelas si dukun tidak akan pernah mengatakan minum air ini dan dengan
peluang 0,8 maka saudara akan sembuh. Jadi ilmu itu memberikan pengetahuan
untuk mengambil keputusan, dimana setiap keputusan perlu ditafsirkan kedalam
kesimpulan ilmiah. Dengan demikian maka kata akhir dari suatu keputusan ada ditangan
sendiri, bukan pada teori-teori keilmuan. Itulah sebabnya ada seseorang yang
tidak pernah mau mengambil keputusan sendiri lebih senang pergi ke dukun.
Berkonsultasi pada ahli psikologi paling-paling diberi alternatif-alternatif yang dapat diambil, sedangkan dukun berkata: Pilih jalan ini, saya jamin,
pasti berhasil).
AXIOLOGI
: Nilai Kegunaan Ilmu
Aksiologi Sampailah pembahasan
kita kepada sebuah pertanyaan:
Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita? Tak
dapat dipungkiri bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia dalam memberantas
berbagai termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan
yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu selalu merupakan berkat
dan penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom kita bisa memanfaatkan
wujud tersebut sebagai sumber energy bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal
ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Jadi yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan?
Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika? Bagaimana penentuan
obyek yang diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode
ilmiah dengan kaidah moral?25 Demikian pula aksiologi pengembangan
seni dengan kaidah moral, sehingga ketika seni tari dangdut Inul Dartista
memperlihatkan goyangnya di atas panggung yang ditonton khalayak ramai, sejumlah ulama dan seniman menjadi
berang.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat
mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain, penemuan cara-cara licik
ilmuan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatu bangsa, dan penemuan bayi
tabung dapat menimbulkan bancana bagi terancamnya perdaban perkawinan.
Berkaitan dengan etika, moral, dan estetika maka ilmu itu dapat dibagi menjadi
dua kelompok: 1. Ilmu Bebas Nilai Berbicara tentang ilmu akan membicarakan pula
tentang etika, karena sesungguhnya etika erat hubungannya dengan ilmu. Bebas nilai atau tidaknya ilmu merupakan
masalah rumit, jawabannya bukan sekadar ya atau tidak. Sebenarnya sejak saat
pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan
masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus
(1473-1543 M) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan
bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari”
dan bukan sebaliknya seperti yang diajarkan oleh agama
(gereja) maka timbullah reaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada
ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
mempelajari alam sedangkan dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan pada pernyataan-pernyataan nilai berasal dari agama sehingga
timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berakumulasi
pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633 M.26 Volume Vonis
inkuisisi Galileo memengaruhi perkembangan berpikir di Eropa, yang pada
dasarnya mencerminkan pertentangan antara ilmu yang ingin bebas dari nilainilai
di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran (agama). Pada kurun waktu itu para
ilmuan berjuang untuk menegakkan
ilmu yang berdasarkan penafsiran alam dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”.
Latar belakang otonomi ilmu bebas dari ajaran agama (gereja) dan leluasa ilmu
dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat
kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsepkonsep ilmiah kepada masalah-masalah
praktis. Sehingga Berthand Russell menyebut
perkembangan ini sebagai peralihan ilmu
dari tahap kontemplasi ke manipulasi.27
Dengan tahap perkembangan ilmu ini berada pada ambang
kemajuan karena pikiran manusia tak tertundukkan pada akhirnya
ilmu menjadi suatu kekuatan
sehingga terjadilah dehumanisasi terhadap seluruh tatanan hidup manusia.
Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari alam dengan
mempertanyakan yang bersifat seharusnya,
untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuan dan ke arah mana perkembangan keilmuan ini diarahkan.
Pertanyaan ini jelas bukan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan
ilmuan seangkatannya, namun ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah
dua kali mengalami perang dunia dan bayangan perang dunia ketiga. Pertanyaan
ini tidak dapat dielakkan dan untuk menjawab
pertanyaan ini maka ilmu berpaling
kepada hakekat moral.28 Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu
dan teknologi yang bersifat destruktif para ilmuan terbagi dalam dua pendapat.
Golongan pertama menginginkan ilmu netral dari nilai-nilai baik secara
ontologis, epistemologis, maupun aksiologis.
Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas
ilmu hanya terbatas pada metafisik
keilmuan, namun dalam penggunaannya harus berlandaskan pada moral. Einstein pada akhir hayatnya tak dapat
menemukan agama mana
yang sanggup menyembuhkan ilmu dari kelumpuhannya
dan begitu pula
moral universal manakah yang dapat
mengendalikan ilmu, namun Einstein ketika sampai pada puncak pemikirannya dan
penelaahannya terhadap alam semesta ia berkesimpulan
bahwa keutuhan ilmu merupakan integrasi rasionalisme, empirisme dan mistis intuitif. 29 Perlunya penyatuan
ideology tentang ketidak netralan ilmu ada beberapa
alasan, namun yang penting
dicamkan adalah pesan
Einstein pada masa
akhir hayatnya “Mengapa ilmu yang
begitu indah, yang menghemat kerja, membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali pada
kita”. Adapun permasalahan
dari keluhan Einstein adalah pemahaman
dari pemikiran Francis Bacon yang telah
berabad-abad telah mengekang
dan mereduksi nilai kemanusiaan dengam ide “pengetahuan adalah kekuasaan”. Dari
pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas dasar
ontologi, epistemologi dan aksiologi haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu
itu tidak bebas nilai 2. Teori tentang nilai Pembahasan tentang nilai akan
dibicarakan tentang nilai sesuatu, nilai perbuatan, nilai situasi, dan nilai
kondisi. Segala sesuatu kita beri nilai. Pemandangan yang indah, akhlak anak
terhadap orang tuanya dengan sopan
santun, suasana lingkungan dengan menyenangkan
dan kondisi badan dengan nilai sehat. Ada perbedaan antara pertimbangan nilai
dengan pertimbangan fakta. Fakta berbentuk kenyataan, ia dapat ditangkap dengan
pancaindra, sedang nilai hanya dapat dihayati.30 Walaupun para
filosof berbeda pandangan tentang
defenisi nilai, namun pada umumnya menganggap bahwa nilai adalah
pertimbangan tentang penghargaan. Pertimbangan fakta dan
pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan, antara keduanya karena saling memengaruhi.
Sifat-sifat benda yang dapat diamati juga termasuk dalam penilaian. Jika fakta
berubah maka penilaian kita berubah ini berarti pertimbangan nilai dipengaruhi oleh fakta. Fakta itu
sebenarnya netral, tetapi manusialah yang memberikan nilai kedalamannya sehingga ia mengandung nilai. Karena nilai itu maka
benda itu mempunyai nilai.
Namun bagaimanakah criteria benda atau
fakta itu mempunyai
nilai. Teori tentang nilai dapat
dibagi menjadi dua yaitu
nilai etika dan nilai estetika, 31Etika
termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan memandangnya
dari sudut baik dan buruk. Adapun cakupan dari nilai
etika adalah: Adakah ukuran perbuatan yang baik
yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia, apakah dasar
yang dipakai untuk menentukan adanya norma-norma universal tersebut, apakah
yang dimaksud dengan pengertian baik dan buruk dalam perbuatan manusia, apakah
yang dimaksud dengan kewajiban dan apakah implikasi
suatu perbuatan baik dan buruk. Nilai etika diperuntukkan pada manusia saja,
selain manusia (binatang, benda, alam) tidak mengandung nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum baik atau buruk, salah atau benar. Contohnya dikatakania mencuri, mencuri itu nilai
etikanya jahat. Dan orang yang melakukan itu dihukum bersalah. Tetapi kalau kucing
mengambil ikan dalam lemari,
tanpa izin tidak dihukum bersalah. Yang bersalah adalah kita yang tidak
hati-hati, tidak menutup atau mengunci pintu lemari. 32
Adapun estetika
merupakan nilai-nilai yang berhubungan
dengan kreasi seni,
dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan seni atau kesenian. Kadang estetika diartikan
sebagai filsafat seni dan kadang-kadang prinsip yang berhubungan dengan estetika
dinyatakan dengan keindahan. Syarat estetika terbatas pada lingkungannya,
disamping juga terikat dengan ukuran-ukuran etika.
Etika menuntut supaya yang bagus
itu baik. Lukisan porno dapat mengandung nilai
estetika, tetapi akal sehat menolaknya, karena tidak etika. Sehingga kadang
orang memetingkan nilai panca-indra dan mengabaikan nilai ruhani. 33 Orang hanya mencari
nilai nikmat tanpa mempersoalkan apakah ia baik atau buruk. Nilai estetika tanpa diikat oleh ukuran etika
dapat berakibat mudarat kepada estetika, dan dapat merusak. Menurut
Randal, ada tiga interpretasi tentang hakikat seni, yaitu: 1. Seni sebagai penembusan (penetrasi) tehadap realisasi disamping pengalaman. 2. Seni sebagai alat untuk
kesenangan, seni tidak berhubungan dengan pengetahuan tentang alam dan
memprediksinya , tetapi manipulasi alam
untuk kepentingan kesenangan. 3. Seni sebagai ekspresi sungguh-sungguh tentang pengalaman.34 Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian
baik dan buruk terletak pada manusia itu sendiri.
Namun dalam Islam penilaian baik dan buruknya sesuatu mempunyai nilai yang universal yaitu al-Qur’an dan
hadis.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
:
Filsafat ilmu merupakan bagian dari
epistemologi ( filsafat pengetahuan ) yang secara
spesifik mengkaji hakikat ilmu ( pengetahuan ilmiah ).
Cabang- Cabang Ilmu terdiri dari 3 :
Epistemologi : Cara Mendapatkan Pengetahuan Yang Benar
Ontologi : Hakikat Apa Yang Dikaji
Axiologi : Nilai Kegunaan Ilmu
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Durant, Will, The Story of Philosophy (New
York : Simon & Schuster, 1933), hlm.1-4
2.
Sagan,
Carl, The Cosmic Connection (New York: Dell, 1975)
3.
William van Loon, Hendrik, The Story of
Mankind ( New York : The Pocket Library1945), hlm. 211
4.
Abou
El Fadl, Khaled (2001) Speaking
in God’s Name : Islamic Law, Authority, and Women, Oxford : Oneworld (1996) hlm.
2
5.
Kline, Moris, “The Meaning of
Mathematics”, Adventuren of The Mind (New York: Vintage, 1961), hlm. 8
6.
Calder, Rilehie, Science in Our Life (New
York: New American Library 1955) hlm. 37
7.
Wilardjo,
Liek, “ Tanggung Jawab Sosial
Ilmuwan “, Pustaka, Th. III No.3, April 1979, hlm. 11-14
8.
Persaud and Moore, The Developing Human,
hlm. 14
9.
Ibid, hlm. 4
10. H.W.
Mossman and W.J Hamilthon (1972) Human Embryology : Prenatal Development of From and
Function, Cambfridge: W. Heffer & Sons LTD and Baltimore: The William &
Wilkins Company, hlm. 32-33
11. Wadud-Muhsin,
Qur’an and Women, hlm. 15
12. Barlas
“ Believing Woman” dalam Islam , hlm.
134
13. Esack,
“ Islam and Gender Justice” hlm. 191
14. Saefuddin et.al, Desekularisasi Pemikiran: landasan Islamisasi, Cet.
IV; Bandung: Mizan, 1998.
15. Salam, Burhanuddin. Logika Material Filsafat Materi, Cet. I;
Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
16. Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet.
X; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 33.
17. Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakekat
18. Ilmu, Cet. XIII; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.
19. Syafii, Inu Kencana. Pengantar Filsafat, Cet. I; Bandung: Refika
Aditama, 2004.
20.
Tim Penulis
Rosdakarya, Kamus Filsafat, Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.